Beberapa hari yg lalu aku melaju menunggangi sepeda motor yang umurnya sudah lumayan tua. Kondisinnya memang sudah tidak stabil lagi, sering sakit-sakitan, cedera sana sini.
Begitupun aku semakin usia bertambah semakin ringkih, stamina tidak sebagus dulu lagi. Mengendarai baru puluhan kilo meter saja mata sudah sering merasa ngantuk dan semakin jauh memacu motor maka kedua bibir mata semakin berat untuk dikedipkan. Akhirnya saya harus berdamai dengan keadaan, mengalah untuk sejenak beristirahat sekedar meneguk segelas kopi.
Begitupun siang itu, saya mampir di kedai kopi lengkap dengan jajanan kue baloknya. Tak pikir panjang saya langsung memesannya. Hampir setengah jam saya istirahat, kemudian saya melanjutkan perjalanan. Baru beberapa puluh meter melaju, tiba tiba motor terasa oleng, dan saya langsung curiga bahwa ban bocor, seketika saya menepi dan ternyata benar ban gembos.
Lalu saya menuntunnya beberapa puluh meter mencari tukang tambal ban, alhamdulillah tak begitu lama saya mendapati tukang tambal ban.Begitupun aku semakin usia bertambah semakin ringkih, stamina tidak sebagus dulu lagi. Mengendarai baru puluhan kilo meter saja mata sudah sering merasa ngantuk dan semakin jauh memacu motor maka kedua bibir mata semakin berat untuk dikedipkan. Akhirnya saya harus berdamai dengan keadaan, mengalah untuk sejenak beristirahat sekedar meneguk segelas kopi.
Begitupun siang itu, saya mampir di kedai kopi lengkap dengan jajanan kue baloknya. Tak pikir panjang saya langsung memesannya. Hampir setengah jam saya istirahat, kemudian saya melanjutkan perjalanan. Baru beberapa puluh meter melaju, tiba tiba motor terasa oleng, dan saya langsung curiga bahwa ban bocor, seketika saya menepi dan ternyata benar ban gembos.
"Tambal mang"
"Mangga" jawab si bapa. Lalu motor saya parkirkan.
Si bapa tukang ban dengan sigap mengerjakan tugasnya, "wah panjang kieu" tutur nya sambil mencabut kawat dari ban.
Percakapan pun panjag lebar dengan nya. Tiba tiba ada dua orang bapa dan ibu menghampiri, jika dilihat dari fisiknya tak salah lagi mereka adalah pengemis.
Tiba-tiba si bapa tukang tambal ini beranjak dari pekerjaanya lalu menghampiri meja kecil di bagian belakang ruangan dan merogoh sesuatu, saya lihat sekilas ternyata selembar uang kemudian dikasih ke pengemis tadi. Saya berpikir paling uang yang dikasihnya Rp. 2000 atau Rp. 1000. Namun dugaan saya ternyata meleset, uang yang ia berikan ternyata Rp. 10.000. Saya sempat tertegun, salut dengan kedermawanan beliau. Saya sempat berfikir dengan kondisi tempat usahanya bisa di bilang sederhana masih bisa menyisihkan hartanya buat orang yang membutuhkan.
Ternyata penampakan fisik, kemewahan harta, tingginya tahta dan terhormatnya tingkat sosial, itu semua tidak menjamin seseorang memiliki hati yang mulia.
Nambal ban sudah selesai, lalu saya tanyakan berapa jasa yang harus dibayar, ternyata saya harus bayar Rp. 8000 saja, termasuk masih murah karena di tempat lain saya biasanya bayar Rp. 10.000.
Pemandangan tadi menghujam dalam di alam bawah sadar saya sebagai pelajaran yang berharga.
Yang terpenting adalah bukan seberapa besar yang kita berikan pada orang lain tetapi seberapa iklaskah kita untuk selalu berbagi.
Semoga terinspirasi.